Persentase kelulusan Ujian Nasional (UN) 2013 yang mencapai 99,48 persen
dipertanyakan validitasnya. Pasalnya, masih banyak ditemui kecurangan
yang dilakukan sekolah.
Staf Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, ICW melakukan penelitian dari berbagai siswa yang menyebutkan adanya pemberian bocoran UN. Salah satu penelitian tersebut dilakukan di SMK Widuri Jakarta.
Dia menjelaskan, pada hari pertama UN Senin 15 April, malam harinya beredar pesan pendek dikalangan siswa dari salah satu pejabat sekolah agar siswa datang ke sekolah pada pukul 06.00 WIB.
Selanjutnya pada hari kedua UN, Selasa 16 Mei pukul 06.00 WIB siswa dikumpulkan pada dua ruangan yang berbeda. Didalam ruangan tersebut, sudah menunggu seorang pejabat sekolah untuk membagikan kunci jawaban.
"Pejabat sekolah itu menyampaikan, karena dia sudah membantu siswa maka dia meminta siswa untuk membayar Rp30 ribu. Uang itu katanya digunakan untuk merenovasi masjid dekat rumah pejabat sekolah itu,” katanya di kantor ICW, Jumat (24/5/2013).
Siti menjelaskan, sekolah terus memberikan kunci jawaban hingga pelaksanaan UN hari keempat Kamis 18 April. Dia melanjutkan, selama ujian berlangsung, siswa diminta mengisi jawaban pada dua lembar jawaban. Yakni lembar jawaban komputer dan lembar jawaban biasa yang disilang-silang. Hal ini dilakukan untuk memprediksi nilai siswa dan untuk bukti jawaban siswa bila lembar jawaban computer rusak atau terhapus.
Siti menjelaskan, UN memicu murid, kepala sekolah dan guru berlaku curang. Apalagi bagi sebagian sekolah UN memiliki tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi daripada kemampuan mereka. Bukti kecurangan sistemik adalah, kunci jawaban dibuat dengan rapi untuk 20 tipe soal. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh guru disekolah, menjelang satu hari soal sampai disekolah.
"Tentunya hal ini dilakukan oleh oknum lain yang mengetahui distribusi soal. Kedua, yang melakukan kecurangan adalah pejabat-pejabat sekolah," terangnya.
Validitas persentase kelulusan itu juga dipertanyakan karena adanya 20 paket soal juga tidak menghilangkan kecurangan UN. Bahkan, perubahan jumlah jenis soal menjadi lebih banyak, semakin memperlihatkan bahwa Kemendikbud juga mengakui masih ada kecenderungan contek mencontek maupun bocoran yang beredar dikalangan siswa.
Kecurangan dalam UN dapat terjadi disekolah negeri maupun swasta. Hal ini karena seluruh sekolah menginginkan seluruh siswanya lulus UN namun tidak seluruh sekolah memenuhi standar nasional pendidikan. Sedangkan UN menggunakan soal ujian dengan standar nasional. Oleh karena itu, tegasnya, pihaknya meminta agar UN di semua jenjang harus ditiadakan.
Sebelumnya diberitakan, amburadulnya pelaksanaan UN menyebabkan persentase kelulusan UN turun 0,02 persen. Pada 2013 kelulusan mencapai 99,48 persen, sedangkan 2012 99,50 persen.
Meski diwarnai penundaan namun Kemendikbud mengklaim peristiwa itu tidak berpengaruh dari sisi pemeriksaan hasil UN dan juga tingkat kelulusan. Bahkan di Bali yang juga mengalami penundaan menyumbang lima siswa dengan nilai UN tertinggi senasional.
Staf Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, ICW melakukan penelitian dari berbagai siswa yang menyebutkan adanya pemberian bocoran UN. Salah satu penelitian tersebut dilakukan di SMK Widuri Jakarta.
Dia menjelaskan, pada hari pertama UN Senin 15 April, malam harinya beredar pesan pendek dikalangan siswa dari salah satu pejabat sekolah agar siswa datang ke sekolah pada pukul 06.00 WIB.
Selanjutnya pada hari kedua UN, Selasa 16 Mei pukul 06.00 WIB siswa dikumpulkan pada dua ruangan yang berbeda. Didalam ruangan tersebut, sudah menunggu seorang pejabat sekolah untuk membagikan kunci jawaban.
"Pejabat sekolah itu menyampaikan, karena dia sudah membantu siswa maka dia meminta siswa untuk membayar Rp30 ribu. Uang itu katanya digunakan untuk merenovasi masjid dekat rumah pejabat sekolah itu,” katanya di kantor ICW, Jumat (24/5/2013).
Siti menjelaskan, sekolah terus memberikan kunci jawaban hingga pelaksanaan UN hari keempat Kamis 18 April. Dia melanjutkan, selama ujian berlangsung, siswa diminta mengisi jawaban pada dua lembar jawaban. Yakni lembar jawaban komputer dan lembar jawaban biasa yang disilang-silang. Hal ini dilakukan untuk memprediksi nilai siswa dan untuk bukti jawaban siswa bila lembar jawaban computer rusak atau terhapus.
Siti menjelaskan, UN memicu murid, kepala sekolah dan guru berlaku curang. Apalagi bagi sebagian sekolah UN memiliki tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi daripada kemampuan mereka. Bukti kecurangan sistemik adalah, kunci jawaban dibuat dengan rapi untuk 20 tipe soal. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh guru disekolah, menjelang satu hari soal sampai disekolah.
"Tentunya hal ini dilakukan oleh oknum lain yang mengetahui distribusi soal. Kedua, yang melakukan kecurangan adalah pejabat-pejabat sekolah," terangnya.
Validitas persentase kelulusan itu juga dipertanyakan karena adanya 20 paket soal juga tidak menghilangkan kecurangan UN. Bahkan, perubahan jumlah jenis soal menjadi lebih banyak, semakin memperlihatkan bahwa Kemendikbud juga mengakui masih ada kecenderungan contek mencontek maupun bocoran yang beredar dikalangan siswa.
Kecurangan dalam UN dapat terjadi disekolah negeri maupun swasta. Hal ini karena seluruh sekolah menginginkan seluruh siswanya lulus UN namun tidak seluruh sekolah memenuhi standar nasional pendidikan. Sedangkan UN menggunakan soal ujian dengan standar nasional. Oleh karena itu, tegasnya, pihaknya meminta agar UN di semua jenjang harus ditiadakan.
Sebelumnya diberitakan, amburadulnya pelaksanaan UN menyebabkan persentase kelulusan UN turun 0,02 persen. Pada 2013 kelulusan mencapai 99,48 persen, sedangkan 2012 99,50 persen.
Meski diwarnai penundaan namun Kemendikbud mengklaim peristiwa itu tidak berpengaruh dari sisi pemeriksaan hasil UN dan juga tingkat kelulusan. Bahkan di Bali yang juga mengalami penundaan menyumbang lima siswa dengan nilai UN tertinggi senasional.